Pengikut

Rabu, 30 Oktober 2013

Ekonomi Daerah

Artikel 1
Faktor Penghambat Dalam Penerapan Perda Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Kota Kendari (PERDA COPY PASTE)
Peraturan Daerah (Perda) adalah produk hukum yang penting dan strategis berkenaan dengan penerapan otonomi daerah dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan Undang-undang Pemerintahan Daerah. Perda menjadi instrumen hukum bagi pemerintah daerah dalam mengelola jalannya pemerintahan daerah berdasarkan asas desentralisasi dan tugas pembantuan.
Sebagai instrumen hukum utama di tingkat daerah, Perda mengatur berbagai hal berkaitan dengan berbagai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah yang didasarkan atas dinamika dan aspirasi masyarakat. Dengan demikian, Perda tidak sematamata hanya menjustifikasi kekuasaan pemerintah daerah untuk bertindak dan mengatur warganya, tetapi juga memberikan perlindungan terhadap hak-hak dan kepentingan masyarakat luas.
Asumsi ini tidak berlebihan. Ada beberapa fakta yang menunjukkan pembuktian
terkait persoalan Perda.
Pertama, Berdasarkan identifikasi dan inventarisasi yang dilakukan Pemerintah Pusat ditemukan sejumlah Perda yang dianggap “bermasalah”. Perda bermasalah ini selain karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, juga bertentangan dengan kepentingan umum. Pada umumnya, perda bermasalah ini adalah perda-perda mengenai pungutan, baik pajak daerah maupun retribusi daerah. Seperti Perda di kota Kendari yang dibatalkan Menteri Dalam Negeri yang dikeluarkan melalui Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor : 228 Tahun 2009, Pembatalan Peraturan Daerah Kota Kendari Nomor : 11 Tahun 2003 tentang Retribusi Jasa Pelayanan Syarat syarat Kerja.
Dengan ditemukan adanya Perda yang dianggap bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, nyata bahwa pembentuk Perda mengabaikan asas lex superior derogate lex interior. “Hukum yang lebih tinggi kedudukannya mengalahkan hukum yang derajatnya lebih rendah. Artinya, peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.”
Mengapa hal ini bisa terjadi? Faktor utamanya adalah karena pembentukan Perda belum dilakukan secara baik dan terencana. Mekanisme Penyusunan Naskah Akademik sebagai dasar bagi penyusunan Rancangan Perda belum banyak dilakukan. Banyak fakta menunjukkan bahwa Perda yang ada adalah salinan (copy) dari Perda daerah lain, yang kemudian diubah seperlunya untuk selanjutnya diproses dan dibahas. Padahal semua tahu bahwa kondisi geografis dan budaya masyarakat masing-masing daerah berbeda-beda, dan Perda harus disesuaikan dengan kondisi dan kultur masyarakat daerah setempat. Jadi tidak bisa sekedar copy paste saja. Bukan merupakan kesalahan apalagi dosa besar apabila pejabat yang bertanggungjawab mempersiapkan rancangan Perda, atau SKPD yang menjadi prakarsa pembentukan Perda melakukan studi banding dan mengcopy perda daerah lain sepanjang hal tersebut adalah dimaksudkan sebagai bahan pembandingan dalam maksud membuat Perda yang sama.
Kedua, Perda belum mampu menjadi “tuan” di negeri sendiri. Era otonomi daerah yang memberikan ruang bagi daerah untuk mengatur daerahnya sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat ternyata belum mendudukkan Perda sebagai instrumen hukum utama di tingkat daerah dalam mengatur dan mengendalikan prilaku kehidupan masyarakat daerah.
Artikel 2
Pemerintah Seharusnya lebih memperhatikan juga daerah perbatasan
Meski memiliki kekayaan sumber daya alam, namun, ekonomi di daerah perbatasan masih tumbuh rendah. Soalnya, sumber daya alam itu kebanyakan dieksploitasi dan diolah oleh Negara lain seperti Malaysia.
"Banyak komoditas daerah perbatasan seperti ikan teri Ambalat di Pulau Sebatik, Kalimantan Barat, dikirim ke Malaysia dan diolah di sana kemudian dikirim kembali ke Indonesia. Pisang mentah juga banyak yang seperti itu
Selain itu ekspansi bisnis Malaysia ke daerah perbatasan cukup kuat. Itu dilakukan, antara lain, lewat penguasaan perkebunan.
"Ada 170 kawasan perkebunan kelapa sawit di Sintang, Kalimantan Barat tetapi kebanyakan milik Malaysia. Lalu ada pertambangan batu bara juga banyak yang dimiliki negara asing," imbuhnya.
Kondisi itu sama sekali tidak mendorong pertumbuhan ekonomi di kawasan perbatasan. Alih-alih bermanfaat, penguasaan komoditas oleh Malaysia justru semakin menciptakan kemiskinan di sana.
"Sebanyak 18,7 persen kemiskinan tumbuh di kawasan perbatasan sedangkan rata-rata pertumbuhan kemiskinan nasional hanya 14,1 persen. Akibatnya, wilayah perbatasan sering kali disebut wilayah terbelakang, termiskin dan terbodoh."
Disini menurut saya perlu adanya perhatian pemerintah supaya masyarakat perbatasan tidak lagi dimanfaatkan atau dibodohi oleh Negara lain. Pemerintah kurang peduli atau tidak mau melihat masyarakat perbatasan, pemerintah disini membiarkan rakyatnya selalu dibodobodohi dan disiksa rakyat Negara lain padahal jika masyarakat perbatasan ini diberdayakan maka mereka juga cukup mampu menumbuhkan ekonomi daerah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar