Artikel 1
Faktor
Penghambat Dalam Penerapan Perda Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di
Kota Kendari (PERDA COPY PASTE)
Peraturan Daerah (Perda) adalah produk hukum yang
penting dan strategis berkenaan dengan penerapan otonomi daerah dalam sistem
penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan Undang-undang Pemerintahan
Daerah. Perda menjadi instrumen hukum bagi pemerintah daerah dalam mengelola
jalannya pemerintahan daerah berdasarkan asas desentralisasi dan tugas
pembantuan.
Sebagai instrumen hukum utama di tingkat daerah,
Perda mengatur berbagai hal berkaitan dengan berbagai urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah yang didasarkan atas dinamika dan aspirasi
masyarakat. Dengan demikian, Perda tidak sematamata hanya menjustifikasi
kekuasaan pemerintah daerah untuk bertindak dan mengatur warganya, tetapi juga
memberikan perlindungan terhadap hak-hak dan kepentingan masyarakat luas.
Asumsi ini tidak berlebihan. Ada beberapa fakta yang
menunjukkan pembuktian
terkait
persoalan Perda.
Pertama,
Berdasarkan
identifikasi dan inventarisasi yang dilakukan Pemerintah Pusat ditemukan
sejumlah Perda yang dianggap “bermasalah”. Perda bermasalah ini selain karena
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, juga
bertentangan dengan kepentingan umum. Pada umumnya, perda bermasalah ini adalah
perda-perda mengenai pungutan, baik pajak daerah maupun retribusi daerah.
Seperti Perda di kota Kendari yang dibatalkan Menteri Dalam Negeri yang
dikeluarkan melalui Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor : 228 Tahun
2009, Pembatalan Peraturan Daerah Kota Kendari Nomor : 11 Tahun 2003 tentang
Retribusi Jasa Pelayanan Syarat syarat Kerja.
Dengan ditemukan adanya Perda yang dianggap
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, nyata bahwa pembentuk Perda
mengabaikan asas lex superior derogate lex interior. “Hukum
yang lebih tinggi kedudukannya mengalahkan hukum yang derajatnya lebih
rendah. Artinya, peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi.”
Mengapa hal ini bisa terjadi? Faktor utamanya adalah
karena pembentukan Perda belum dilakukan secara baik dan terencana. Mekanisme
Penyusunan Naskah Akademik sebagai dasar bagi penyusunan Rancangan Perda belum
banyak dilakukan. Banyak fakta menunjukkan bahwa Perda yang ada adalah salinan
(copy) dari Perda daerah lain, yang kemudian diubah seperlunya untuk
selanjutnya diproses dan dibahas. Padahal semua tahu bahwa kondisi geografis
dan budaya masyarakat masing-masing daerah berbeda-beda, dan Perda harus
disesuaikan dengan kondisi dan kultur masyarakat daerah setempat. Jadi tidak
bisa sekedar copy paste saja. Bukan merupakan kesalahan apalagi dosa besar
apabila pejabat yang bertanggungjawab mempersiapkan rancangan Perda, atau SKPD
yang menjadi prakarsa pembentukan Perda melakukan studi banding dan mengcopy
perda daerah lain sepanjang hal tersebut adalah dimaksudkan sebagai bahan
pembandingan dalam maksud membuat Perda yang sama.
Kedua,
Perda belum mampu menjadi “tuan” di negeri sendiri. Era otonomi daerah yang
memberikan ruang bagi daerah untuk mengatur daerahnya sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat ternyata belum mendudukkan Perda sebagai instrumen hukum
utama di tingkat daerah dalam mengatur dan mengendalikan prilaku kehidupan
masyarakat daerah.
Artikel 2
Pemerintah
Seharusnya lebih memperhatikan juga daerah perbatasan
Meski memiliki
kekayaan sumber daya alam, namun, ekonomi di daerah perbatasan masih tumbuh
rendah. Soalnya, sumber daya alam itu kebanyakan dieksploitasi dan diolah oleh
Negara lain seperti Malaysia.
"Banyak
komoditas daerah perbatasan seperti ikan teri Ambalat di Pulau Sebatik,
Kalimantan Barat, dikirim ke Malaysia dan diolah di sana kemudian dikirim
kembali ke Indonesia. Pisang mentah juga banyak yang seperti itu
Selain itu
ekspansi bisnis Malaysia ke daerah perbatasan cukup kuat. Itu dilakukan, antara
lain, lewat penguasaan perkebunan.
"Ada 170
kawasan perkebunan kelapa sawit di Sintang, Kalimantan Barat tetapi kebanyakan
milik Malaysia. Lalu ada pertambangan batu bara juga banyak yang dimiliki
negara asing," imbuhnya.
Kondisi itu
sama sekali tidak mendorong pertumbuhan ekonomi di kawasan perbatasan. Alih-alih
bermanfaat, penguasaan komoditas oleh Malaysia justru semakin menciptakan
kemiskinan di sana.
"Sebanyak
18,7 persen kemiskinan tumbuh di kawasan perbatasan sedangkan rata-rata
pertumbuhan kemiskinan nasional hanya 14,1 persen. Akibatnya, wilayah perbatasan
sering kali disebut wilayah terbelakang, termiskin dan terbodoh."
Disini menurut
saya perlu adanya perhatian pemerintah supaya masyarakat perbatasan tidak lagi
dimanfaatkan atau dibodohi oleh Negara lain. Pemerintah kurang peduli atau
tidak mau melihat masyarakat perbatasan, pemerintah disini membiarkan rakyatnya
selalu dibodobodohi dan disiksa rakyat Negara lain padahal jika masyarakat
perbatasan ini diberdayakan maka mereka juga cukup mampu menumbuhkan ekonomi
daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar